Filipina dan Indonesia |
Setiap kali misa berbahasa Inggris di Gereja Santa Theresia di bilangan
Menteng, Jakarta Pusat, berakhir, dan ketika jemaat beranjak keluar, dua bahasa
asing hampir pasti terdengar di sela-sela percakapan santai mereka: bahasa
Inggris dan bahasa Filipino. Sementara yang pertama dituturkan para bule dan warga Jakarta sendiri, yang
kedua secara khas menjadi tanda kehadiran warga negara Filipina di ibukota.
Semakin banyak warga Filipina bekerja di Jakarta. Data dari kedutaan
besar Filipina menunjukkan, pada tahun 2012 sekitar 8.000 warganya menetap di Indonesia—sekitar
70 persen berbasis di Jakarta. Sebagian besar dari mereka bergerak di sektor pendidikan,
pelatihan, perdagangan, industri, keuangan, media, dan lain-lain. Peningkatan jumlah
warga Filipina di Indonesia sebesar 100 persen dalam kurun empat tahun terakhir
ini dapat terlihat dalam uji coba sederhana: Kunjungi sekolah berlabel internasional
mana pun di Jakarta, dan hampir pasti Anda akan menemukan seorang guru dari Filipina.
Apa yang mendorong warga Filipina dewasa ini bekerja di Indonesia?
Selain tren ekonomi domestik Indonesia yang terus bertumbuh, kemiripan sosial-budaya
merupakan salah satu faktor pemicu lalu-lintas penduduk di antara kedua negara.
Kesamaan dalam nilai-nilai keluarga dan tata krama membuat mereka merasa betah
dan diterima oleh masyarakat setempat. Hal ini diperlihatkan oleh rendahnya
perspektif negatif orang Indonesia terhadap Filipina dibandingkan terhadap
negara serumpun yang lain.
Baik Indonesia maupun Filipina kini dikenal luas sebagai negara kepulauan
berlandaskan demokrasi dengan satu agama mayoritas: Islam di Indonesia dan
Katolik Roma di Filipina. Keduanya juga memiliki ratusan suku bangsa dan
bahasa, yang hampir seluruhnya bernaung di bawah rumpun Austronesia. Keberagaman
bahasa ini mendorong pemerintah Indonesia dan Filipina pada abad ke-20 untuk
menetapkan salah satunya menjadi bahasa nasional: bahasa Indonesia, yang
berakar pada bahasa Melayu, dan bahasa Filipino, yang berakar pada bahasa
Tagalog.
Sejarah juga menunjukkan hubungan dagang antarkedua negara yang telah
terjalin jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa di abad ke-16. Sama-sama dijajah
karena kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia kemudian lahir dari sebuah istilah
asing yang berarti “Kepulauan India”, sementara Filipina memperoleh namanya
dari Raja Felipe II dari Spanyol. Pada masa kolonial inilah komunikasi budaya Indonesia
dan Filipina seakan-akan redup dan berkembang di jalur masing-masing.
Bangsa Spanyol secara signifikan merasuk ke dalam kebudayaan Filipina. Konversi
orang Filipina ke agama Katolik dan gaya arsitektur bangunan-bangunan publik
seperti gereja dan kantor merupakan sedikit contoh. Selain itu, orang-orang
Filipina menamai anak cucu dan tempat-tempat geografis dengan nama-nama berbau Spanyol,
misalnya Los Baños, Isabela, Quezon, Camarines Sur, dan sebagainya. Sistem
penamaan keturunan juga umumnya mengikuti urutan nama depan, nama tengah, dan
nama keluarga; aturan yang demikian baku tidak dianut oleh sebagian besar suku
bangsa Indonesia.
Kedatangan bangsa Amerika di abad ke-20, menggantikan bangsa Spanyol,
turut menambah warna budaya Filipina, membuatnya tampak semakin berbeda dari
budaya Indonesia. Sementara tingkat kefasihan bahasa Belanda pada generasi
Indonesia pascakemerdekaan kian memudar dan tidak pernah menunjukkan
tanda-tanda pertumbuhan, pengajaran bahasa Inggris à la Amerika yang demikian gencar membuat Filipina di abad ini
menjadi salah satu pemasok tenaga kerja terbesar dari Asia Tenggara yang
terampil berbahasa Inggris. Laporan termutakhir menunjukkan Filipina telah
menjadi pusat layanan panggil (call
centre) terbesar untuk pasar Amerika Serikat, mengalahkan India.
Usaha-usaha
kontemporer
Dipisahkan oleh rezim kolonial selama ratusan tahun, Indonesia dan
Filipina telah mengembangkan corak sosial-budaya mereka masing-masing. Kontak
langsung antara orang Filipina dan orang Indonesia dalam konteks dunia kerja
dan pergaulan sosial kontemporer akan secara langsung memunculkan kembali
wacana tentang persamaan budaya di antara kedua negara.
Beberapa orang lantas terinspirasi untuk mempertemukan kembali Indonesia
dan Filipina dalam pelbagai bidang. Misalnya, Freddy C. Mercado Jr., yang
menginisiasi usaha produksi barong tagalog, pakaian nasional pria Filipina,
bercorak batik Indonesia. Berawal dari pengalamannya menyaksikan nenek perajin
batik bekerja dengan canting, malam, dan kain di Plaza Indonesia pada tahun
1989, dia lantas mengaplikasikan teknik pewarnaan batik Indonesia pada kain
jusi yang biasa dipakai sebagai bahan baku barong tagalog.
Usaha ini menunjukkan interpretasi baru atas kebudayaan Indonesia dan
Filipina. Dan dampaknya terasa tidak hanya secara kultural tetapi juga secara
ekonomis.
Wow! This article is amazing. I used google translate to understand it. Indeed the Philippines and Indonesia are very similar.
ReplyDelete